Kisetsu wa Tsugisugi Shindeiku
kisetsu wa tsugitsugi shindeiku zetsumei no koe ga kaze ni naru
iromeku machi no yoenai otoko tsuki o miageru nowa koko ja busui

doro ni ashi motsureru seikatsu ni ame wa arukooru no aji ga shita
apashii na me de samayou machi de kyodoufushin no inosento ekimae nite
boku ga boku to yobu niwa futashika na hantoumei na kage ga ikiteru fuu da
ame ni utaeba kumo wa wareru ka nigiyaka na natsu no hikarabita inochi da

haikei imawashiki kako ni tsugu zetsuen no shi
saitei na hibi no saiaku na yume no zangai o sutete wa yukezu koko de ikitaeyou to
kousei hana wa saki kimi ni tsutau hensen no shi
kunou ni mamirete nagekikanashimi soredemo todaenu uta ni hi wa sasazu tomo

ashita wa tsugitsugi shindeiku seitemo oitsukezu kako ni naru
ikiisoge bokura tomoru hi wa setsuna ikiru imi nado wa ato kara tsuku
kimi ga kimi de iru niwa futashika na fuantei na jiga ga kimi o kiraou to
semete utaeba yami wa hareru ka negusareta yume ni azukatta inochi da

haikei imawashiki kako ni tsugu zetsuen no shi
saitei na hibi no saiaku na yume no zangai o sutete wa yukezu koko de ikitaeyou to
kousei hana wa saki kimi ni tsutau hensen no shi
kunou ni mamirete nagekikanashimi soredemo todaenu uta ni hi wa sasazu tomo

tsukareta kao ni ashi o hikizutte terikaesu yuuhi ni kao wo shikamete
ikou ka modorou ka nayami wa suru kedo shibaraku sureba arukidasu senaka
sou da ikaneba naranu nani wa nakutomo ikiteyuku no da
bokura wa douse hirotta inochi da koko ni oiteku yo nakenashi no

haikei ima wa naki kako o omou boukyou no shi
saitei na hibi ga saiaku na yume ga hajimari datta to omoeba zuibun tooku da
douse hana wa chiri rinne no wa ni kaeru inochi
kunou ni mamirete nagekikanashimi soredemo todaenu uta ni hi wa sasazu tomo
kisetsu wa tsugitsugi ikikaeru


The seasons die out, one after another; cries of annihilation howl in the wind…
A man not susceptible to the charms of the city looks up at the moon and notices how unrefined it all is.
Among an everyday life tripped up by the mud, the rain itself tastes of alcohol;
With eyes filled with apathy as they wander the city, innocents gather in front of the station, acting suspiciously.

In order to uphold the unsteady fact that I’m “me”, it’s like my half-transparent shadow is has come to life.
If I were to sing in the rain, would the clouds part? My life is all dried up in the midst of this bustling summer.
Dear My Loathsome Past, to you I offer this poem of farewell!
I have to cast away the remains of these days that can’t get any worse, these most terrible dreams, even if it kills me.
For in the next life, a flower will bloom to tell you a poem of transition;
A song filled with suffering, of which to grieve and moan, but never to die out… even if it is starved of sunlight.
Tomorrows dies out, one after another; even if you hurry, you’ll miss them as they become the past,
But to we who hurry through life, our flames are fickle, and we’re always adding meaning after the fact.
In order to uphold the unsteady fact that you’re “you”, your unstable ego ventures to despise you;
I you were merely able to sing, would the darkness be dispelled? Your life has been left up to a dream rotten at the core.
Dear My Loathsome Past, to you I offer this poem of farewell!
I have to cast away the remains of these days that can’t get any worse, these most terrible dreams, even if it kills me.
For in the next life, a flower will bloom to tell you a poem of transition;
A song filled with suffering, of which to grieve and moan, but never to die out… even if it is starved of sunlight.
With a tired face, limping along; squinting at the reflected sunset…
We spend some time wondering if we should go or head on back. I’m sure we’ll face hardship… but after the slightest hesitation, we straighten up and head onward.
That’s right, we have to go! Even with nothing, we have to go on living!
After all, our lives were just picked up along the way – we’ll leave them here as we proceed, what little they are.
Dear The Long Gone Past I Reflect Upon, to you I offer this poem of nostalgia;
If I think of days that couldn’t get any worse, those most terrible dreams, you seem so far away!
Our flowers will wilt one day, our lives returning to the circle of life;
A song filled with suffering, of which to grieve and moan, but never to die out… even if it is starved of sunlight.
The seasons revive, one after another.


Indonesian Translated

Musim-musim pun Memati, Satu demi Satu
Musim-musim pun mati, satu demi satu, erangan pemusnahan melolong di angin…
Seorang pria yang tak peka terhadap pesona kota melihat ke bulan dan sadari betapa tak murninya ntuh.
Di antara kehidupan sehari-hari yang tersandung oleh lumpur, hujan ntuh rasanya bak alkohol.

Dengan mata yang penuh dengan keapatisan pas mengembara kota, yang tak berdosa berkumpul di depan stasiun, bertingkah mencurigakan.
Demi tegakkan fakta labil “diriku”, yang bak bayangan setengah transparan yang t’lah terhidupkan.
Jika kumenyanyi di tengah hujan, akankah awan ‘kan bubrah? Hidupku mengering kerontang di tengah-tengah musim panas yang meriah ini.

Duhai masa laluku yang memuakkan, kepadamu kutawarkan puisi perpisahan ini!
Kuharus membuang sisa-sisa hari ini yang tak boleh kian memburuk lagi, pun mimpi-mimpi yang paling mengerikan ini, meski itu bisa membunuhku.
Karena dalam kehidupan berikutnya, bunga ‘kan memekar ‘tuk kisahkanmu sebuah puisi peralihan.

Sebuah lagu yang penuh dengan penderitaan, dari yang berduka dan mengerang, tapi tak pernah bisa mati… meski kekurangan sinar matahari.
Hari esok ‘kan mati, satu demi satu, meski dikau terburu-buru, kau ‘kan rindukannya setelah ntuh ‘jadi masa lalu,
Tapi, bagi kita yang terburu-buru ‘lalui kehidupan, api kita berubah-ubah, dan kita selalu bubuhkan makna setelah fakta.

Demi tegakkan fakta labil “dirimu”, egomu yang tak stabil berusaha membencimu.
Diriku dirimu hanya bisa bernyanyi, akankah kegelapan ‘kan terhalau? Hidupmu t’lah diserahkan pada mimpi busuk sampai intinya.
Duhai masa laluku yang memuakkan, kepadamu kutawarkan puisi perpisahan ini!

Kuharus membuang sisa-sisa hari ini yang tak boleh kian memburuk lagi, pun mimpi-mimpi yang paling mengerikan ini, meski itu bisa membunuhku.
Karena dalam kehidupan berikutnya, bunga ‘kan memekar ‘tuk kisahkanmu sebuah puisi peralihan.
Sebuah lagu yang penuh dengan penderitaan, dari yang berduka dan mengerang, tapi tak pernah bisa mati… meski kekurangan sinar matahari.

Dengan wajah lelah, tertatih-tatih, sipitkan mata pada matahari tenggelam yang tercermin…
Kita ‘habiskan waktu bertanya-tanya apakah kita harus pergi atau balik pulang. Kuyakin kita akan ‘hadapi kesulitan … tapi setelah keraguan kecil, kita tegakkan tubuh dan kepala ‘tuk maju ke depan.
Benar, kita harus melangkah maju! Meski tanpa apa-apa, kita harus terus hidup!
Soalnya, hidup kita hanyalah sepanjang jalan, kita ‘kan tinggalkannya di sini seberlanjutnya kita, sekecil apapun ntuh.

Duhai masa laluku yang memuakkan, kepadamu kutawarkan puisi nostalgia ini.
Andai kuangankan hari yang tak boleh kian menburuk, pun mimpi-mimpi yang paling mengerikan ntuh, dikau tampak begitu jauh!
Bunga kita ‘kan layu suatu hari nanti, hidup kita pun ‘kan kembali ke siklus kehidupan.
Sebuah lagu yang penuh dengan penderitaan, dari yang berduka dan mengerang, tapi tak pernah bisa mati… meski kekurangan sinar matahari.
Musim pun terhidupkan kembali, satu demi satu.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog